Kamu Risau dengan Kondisi Indonesia? Yuk Baca dan Renungi Ini

Tingkat pendidikan di Indonesia masih tertinggal dari negara Malaysia, Singapore, dan Thailand dimana Human Development Index ada di posisi 107 dari 189 negara. Tingkat Pendidikan ini berkelindan dengan pendapatan ekonomi, dimana sampai dengan saat ini Indonesia masih kategori lower middle income.

SIKAP

Arrizal Fathurohman N.

9/2/20254 min read

shallow focus photo of people holding Indonesia flag
shallow focus photo of people holding Indonesia flag

Ketika tulisan ini dibuat, kondisi Indonesia memang tidak baik-baik saja. Demonstrasi besar melanda di sejumlah wilayah, bahkan sampai kepada aksi penjarahan maupun perusakan fasilitas umum. Penyebab kerusuhan ini sangatlah organik, kemarahan publik pada kinerja pemerintahan menjadi pemicu. Terlepas dari polemik yang beredar bahwa aksi akhir-akhir ini telah ditunggangi, namun ada beberapa hikmah dari kejadian belakangan ini yang dapat diambil. Pada intinya, tulisan ini tidak akan mengulas penyebab dan dampak demo dari segi ekonomi, hukum, dan sosial, melainkan penulis ingin mengajak kepada pembaca untuk dapat menjawab pertanyaan: Hal apa yang bisa diperbuat untuk saat ini dan kedepan?

Tanggung Jawab Kaum Terdidik

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2024 tingkat Pendidikan Indonesia diketahui untuk yang belum pernah merasakan pendidikan sebesar 24,3% kemudian untuk tamatan Sekolah Dasar (22,27%), Sekolah Menengah Atas (21,51%), Sekolah Menengah Pertama (14,45%), S1 (4,78%), S2 (0,34%), dan S3 (0,02%). Tingkat pendidikan di Indonesia masih tertinggal dari negara Malaysia, Singapore, dan Thailand dimana Human Development Index ada di posisi 107 dari 189 negara. Tingkat Pendidikan ini berkelindan dengan pendapatan ekonomi, dimana sampai dengan saat ini Indonesia masih kategori lower middle income.

Selanjutnya, perlu kita lihat data yang dirilis BPS pada Agustus 2024 terkait penyerapan pasar tenaga kerja, dimana TPT (tingkat pengangguran terbuka) hingga Agustus 2024 sebanyak 4,91% dengan tingkat TPT bagi SMK sebesar 9,01%, SMA sebesar 30,72%, dan S1 sebesar 11,28%.

Bagi kalangan sarjana, jumlah TPT tersebut perlu menjadi renungan. Mengingat, tingkat Pendidikan pada jenjang ini sudah tinggi dan ada harapan untuk dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi karena fasilitas dan akses yang dimiliki oleh lulusan sarjana. Oleh karenanya, penting bagi lulusan sarjana untuk mempunyai mindset untuk bertanggung jawab terhadap ilmu yang digelutinya.

Hal tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara, pertama, membuat kampanye kecil melalui media social atas isu social yang ada, berikan pesan seperti asal – usul issue, baik buruk issue tersebut, hingga antisipasi ataupun cara menghadapi issue tersebut. Memang benar, saat ini sudah banyak influencer yang bergerak untuk dapat memberikan kesadaran kritis terhadap masyarakat, namun hal tersebut masih berpusat di kota besar. Platform Indonesia Mengajar ataupun Malaka project mungkin dapat menjadi contoh kecil, terlepas siapa founder-Nya, platform tersebut merupakan ruang transfer knowledge kepada masyarakat Indonesia.

Kedua, banyak sarjana yang ketika lulus sibuk melamar beragam pekerjaan. Hal itu wajar, karena ingin mengaplikasikan segera ilmu yang dimilikinya alih – alih menjadi tulang punggung keluarganya. Namun perlu kiranya untuk tetap mempertahankan nilai – nilai kritis dan jiwa sosialnya, ingat Tri Dharma perguruan tinggi, adapun aplikasi yang dapat dilakukan pasca lulus dapat berupa penyisihan pendapatan untuk aksi social atau bahkan ikut berkontribusi terhadap aksi social tersebut. Adapun aksi social yang dimaksud dapat berupa pembangunan perpustakaan, renovasi ruang sekolah, atau bahkan membantu kesejahteraan guru honorer di penjuru Indonesia.

Ketiga, tidak dipungkiri bahwa mendapatkan gelar ke-sarjanaan memerlukan proses yang berdarah – darah, hal itu karena salah satu syarat mendapatkan gelar ini yaitu perlu suatu riset ataupun penelitian yang dituangkan dalam suatu skripsi/karya ilmiah. Proses berpikir tersebut (riset/penelitian) merupakan modal besar bagi sarjana dalam menghadapi dunia sebenarnya. Karena terbiasa dengan hal yang sistematis, mencari sumber pengetahuan, menganalisis, hingga merumuskan jalan keluar masalah, seharusnya dapat dimanfaatkan sarjana untuk dapat membuka lapangan pekerjaan. Belum lagi fasilitas terhadap jejaring alumni, dapat dijadikan Sebagai penambah modal (materil ataupun immaterill) untuk mulai berusaha/membuka bisnis. Keuntungan dari membuka bisnis/usaha akan memberikan posisi tawar baik terhadap stakeholder pemerintahan ataupun dapat meningkat kesejahteraan dari masyarakat sekitar. Alhasil, jika bisnis/usaha tersebut didasari oleh suatu keyakinan/ideologi tertentu, dapat diselipkan nilai pemahaman kepada pihak – pihak yang berkontribusi dalam pengembangan bisnis tersebut baik karyawan, mitra kerja, atau bahkan klien dan vendor sekalipun.

Berhati-Hati Pada Sifat Pecundang

Gejolak masyarakat bukan kali pertama terjadi, terhitung Indonesia pernah mengalaminya dari tahun 1966, 1998, dan 2025 ini. Pertanyaan yang muncul kemudian, “kok masih belum berubah dan polanya selalu sama”. Atas hal tersebut, baiknya kita renungkan apakah memang karena sifat pecundang dari kalangan terdidik karena harus tunduk dengan system atau ada hal lain?

Tidak dipungkiri, bahwa orang yang saat ini duduk di pemerintahan baik yang menjabat sebagai Menteri, wakil Menteri, pejabat daerah, anggota DPR/DPRD banyak yang merupakan mantan orang yang berpengaruh di LSM atau kampusnya dahulu. Banyak orang berpikir bahwa merekalah yang dapat melakukan perubahan dari dalam, namun ternyata merekalah yang justru menjadi alat pukul protes masyarakat saat ini. Adapun sebabnya, pertama, banyak diantara mereka yang masih menganggap adalah “raja” karena mereka merasa Sebagai pihak yang bisa merubah masyarakat. Hal ini menimbulkan sifat egosentris, alhasil mereka sulit untuk dikendalikan dan merasa yang paling benar. Dengan merasa punya bekal saat di organisasi, mereka menjadi orang yang sok keras dan bahkan anti-kritik. Setelah penulis menghadapi kehidupan nyata, ternyata orang seperti ini dahulu mengikuti organisasi mahasiswa karena alasan yang oportunis yaitu untuk kemajuan pribadi atau bahkan hanya ingin menjadi pusat perhatian karena berbeda dengan lainnya. Sikap ini pun menjadi tabiat pasca lulus, sehingga banyak golongan seperti ini yang memilih masuk pemerintahan dan menjadi bagian dari penindasan.

Kedua, banyak diantara mereka yang kehabisan ide alih-alih frustrasi dengan kehidupan yang “gini- gini aja”. Apa yang dikatakan oleh Abraham Maslow nampaknya benar adanya. Menurutnya manusia membutuhkan “puja-puji” atau penghargaan demi meraih tingkatan tertinggi dalam kehidupan yakni aktualisasi diri, tentunya setelah melewati fase sebelum esteem need (kebutuhan akan penghargaan). Ketika di kampus, tingkatan esteem needs menjadi indikator penting. Karena di saat itulah segala sarana prasarana terpenuhi. Namun, sayangnya banyak diantara mereka yang akhirnya kelupaan atau bahkan ada yang merasa bahwa dirinya adalah sampah, dikarenakan proses yang dilaluinya menimbulkan banyak permasalahan bagi dirinya atau bahkan lingkungan terdekat seperti pertentangan dengan jalan pilihan orang tua maupun pasangan yang akhirnya memicu konflik. Kemudian, mereka berbuat culas untuk pembuktian karena merasa diremehkan. Keculasan tersebut dapat berupa dengan ikut bergabung pada partai politik dengan tujuan hanya mencari keuntungan, tanpa melihat apakah visi – misi telah sesuai dengan keyakinannya (walaupun bullshit bicara visi misi partai di Indonesia), bekerja/membuat konsultan politik karena berbekal ilmu organisasinya hal ini menjadi berbahaya karena mereka pernah terjun dan ikut serta dalam suatu Gerakan masyarakat sehingga mengerti propaganda/kampanye yang diterima masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat kembali menjadi korban penipuan program dari keculasan oknum tertentu.

Bergeraklah

Dari uraian diatas, penulis ingin mengajak kepada kaum terdidik untuk bergerak. Dimanapun dan apapun posisi saat ini, penting kiranya untuk berbagi dengan masyarakat baik materi maupun transfer knowledge. Mengingat tingkat Pendidikan Indonesia saat ini banyak yang tamatan SMA ke bawah, akan rentan terjadi kerusuhan seperti saat ini berulang di kemudian hari. Jangan sampai karena kaum terdidik abai menyebabkan kemiskinan dan kebodohan menjadi terus dipelihara oleh elit, sebagai modal dalam perolehan suara ketika pemilu tiba. Jika hal ini terjadi, maka yang akan merugi adalah seluruh masyarakat Indonesia tidak mengenal background ataupun tingkat Pendidikan dikarenakan proses pemilihan akan menghasilkan pemimpin yang tidak kompatibel hanya Sebagai boneka oligarki atau bahkan bagian dari oligarki tersebut, selain itu pembuatan kebijakan akan menjadi serampangan karena tidak dikritisi dari sudut pandang ilmu pengetahuan untuk menghasilkan kebijakan yang komprehensif dan holistic.