Mengenal Global Sumud Flotilla: Gerakan Pro Kemanusiaan Untuk Palestina
“Sumud” sendiri dalam bahasa Arab sering dimaknai sebagai konsep keteguhan, daya tahan, atau perlawanan moral, sehingga dinamika gerakan ini tidak hanya soal kapal, tapi juga simbol perlawanan sipil. GSF dibentuk sebagai kolaborasi antara beberapa organisasi dan jaringan solidaritas Palestina/hak asasi, termasuk Freedom Flotilla Coalition, Global Movement to Gaza, serta berbagai jaringan regional seperti Maghreb Sumud Flotilla dan Sumud Nusantara.
SIKAP
Tunas Ohara
10/9/20254 min read


Global Sumud Flotilla (GSF) adalah gerakan solidaritas internasional yang merencanakan pengiriman armada kapal sipil menuju Jalur Gaza untuk:
Menantang blokade laut Israel atas Gaza (yaitu tindakan intersepsi kapal oleh otoritas Israel).
Mengirimkan bantuan kemanusiaan langsung atau sebagai simbol solidaritas (makanan, obat, perlengkapan medis).
Menekankan bahwa tindakan sipil non-kekerasan dapat menjadi saluran ekspresi tekanan publik terhadap kebijakan blokade dan krisis kemanusiaan.
“Sumud” sendiri dalam bahasa Arab sering dimaknai sebagai konsep keteguhan, daya tahan, atau perlawanan moral, sehingga dinamika gerakan ini tidak hanya soal kapal, tapi juga simbol perlawanan sipil.
GSF dibentuk sebagai kolaborasi antara beberapa organisasi dan jaringan solidaritas Palestina/hak asasi, termasuk Freedom Flotilla Coalition, Global Movement to Gaza, serta berbagai jaringan regional seperti Maghreb Sumud Flotilla dan Sumud Nusantara.
Penyelenggara menjelaskan bahwa GSF bersifat netral terhadap partai atau negara, gerakan sipil, dan bukan misi militer. Namun, pihak penentang (termasuk pihak Israel dan beberapa media) menyatakan bahwa gerakan ini memiliki dimensi politik dan bahwa keterlibatan lembaga atau partisipan bisa memunculkan pertanyaan legalitas dan keamanan.
Beberapa faktor menguatkan munculnya ide flotilla seperti GSF:
Krisis Kemanusiaan Gaza
Karena blokade—baik laut maupun darat—Gaza sangat bergantung pada pasokan eksternal. Banyak laporan internasional menyatakan bahwa sebagian besar warga Gaza menghadapi krisis pangan, obat-obatan langka, dan layanan kesehatan yang kewalahan.
Isolasi Laut dan Media
Israel mempertahankan kontrol ketat atas akses laut ke Gaza, dan jalur pengiriman barang keakses langsung ke pantai Gaza sering dicegah atau dikontrol ketat. Aktivis flotilla berargumentasi bahwa blokade tersebut menjadikan Gaza terisolasi dari dunia luar, bukan hanya secara fisik tetapi juga dari perhatian media internasional.
Jejak Historis Flotilla
Aksi flotilla bukan hal baru, misalnya, insiden Mavi Marmara (2010) menjadi titik temu global dalam debat tentang kebebasan navigasi, hak asasi, dan blokade Gaza. GSF memposisikan dirinya sebagai “flotilla generasi baru” yang belajar dari pengalaman sebelumnya dalam hal keamanan, diplomasi, dan strategi publik.
Solidaritas Global dan Momentum Politik
Dalam beberapa tahun terakhir, tekanan publik terhadap konflik Israel–Palestina meningkat, terutama di berbagai negara Barat dan dunia Muslim. GSF menarik partisipasi dari aktivis, politisi, figur publik lintas negara, menjadikannya panggung perlawanan simbolis yang juga bermakna diplomatik.
Kronologis Global Sumud Flotilla
Juli 2025, Awal gagasan dan konsolidasi gerakan
Sekitar bulan Juli 2025, sejumlah organisasi solidaritas Palestina, jaringan kemanusiaan, dan aktivis lintas negara mulai menyatukan ide untuk menghidupkan kembali aksi flotilla internasional yang menantang blokade laut Gaza. Gerakan ini kemudian diberi nama Global Sumud Flotilla, “Sumud” berarti keteguhan dalam bahasa Arab, simbol dari perlawanan tanpa kekerasan. Tujuan utamanya adalah mengirimkan bantuan kemanusiaan dan membuka kembali kesadaran dunia terhadap krisis Gaza.
Agustus 2025, Persiapan dan keberangkatan awal
Menjelang akhir Agustus, beberapa kelompok regional mulai bergerak. Delegasi dari Asia Tenggara meluncurkan “Sumud Nusantara Flotilla” pada 23 Agustus, membawa aktivis dari Malaysia, Indonesia, dan beberapa negara Asia lainnya. Pada 30 Agustus, armada dari Italia ikut berangkat membawa muatan bantuan kemanusiaan. Sehari kemudian, pada 31 Agustus 2025, armada utama GSF secara resmi berangkat dari Barcelona, Spanyol. Momentum ini dianggap sebagai titik awal pelayaran global menuju Gaza.
Awal September 2025, Bergabungnya kapal dari Afrika Utara dan Eropa
Pada 4 September 2025, kapal-kapal dari Tunisia mulai bersiap bergabung dengan armada utama. Mereka mengarungi Laut Tengah, mengarah ke titik temu armada global. Beberapa hari kemudian, pada 14 September, rombongan kapal dari pelabuhan Bizerte, Tunisia, secara resmi memulai pelayaran menuju Gaza. Ini menjadi salah satu titik penting karena merupakan pelayaran besar pertama dari Afrika Utara yang langsung menuju zona blokade.
Pertengahan September 2025, Serangan drone dan gangguan misterius
Selama perjalanan, sejumlah kapal dilaporkan mengalami serangan drone, ledakan kecil, dan gangguan komunikasi. Aktivis mengklaim bahwa serangan itu dilakukan oleh pihak tak dikenal saat kapal mereka masih berlabuh atau sedang berlayar di perairan internasional. Meskipun tidak ada korban jiwa, insiden ini menimbulkan kepanikan dan memperlambat pergerakan armada.
25 September 2025, Pengawalan militer dari Eropa
Melihat meningkatnya risiko keamanan, Italia dan Spanyol mengirim kapal militernya untuk memberikan pengawasan terhadap armada GSF. Langkah ini dilakukan untuk mencegah terjadinya insiden fatal seperti yang pernah terjadi pada tahun 2010 terhadap Mavi Marmara. Dukungan dua negara Eropa ini juga menunjukkan dimensi diplomatik yang semakin besar dari gerakan ini.
Akhir September 2025, Memasuki zona risiko tinggi
Menjelang akhir bulan, armada GSF dilaporkan sudah berada sekitar 120 mil laut dari Gaza. Posisi ini sudah sangat dekat dengan garis blokade laut yang dijaga oleh angkatan laut Israel. Kapal-kapal GSF mulai dikepung oleh drone pengintai dan kapal patroli. Ketegangan meningkat tajam karena semua pihak tahu bahwa intersepsi besar kemungkinan akan segera terjadi.
1–3 Oktober 2025, Intersepsi oleh Angkatan Laut Israel
Puncak dari seluruh rangkaian peristiwa terjadi antara tanggal 1 hingga 3 Oktober. Dalam rentang waktu ini, seluruh kapal Global Sumud Flotilla dicegat dan dinaiki oleh pasukan Israel di perairan internasional. Kapal-kapal dibawa ke pelabuhan Ashdod, dan seluruh aktivis di dalamnya ditahan. Laporan menyebut lebih dari 40 kapal dengan ratusan peserta dari berbagai negara ikut ditangkap.
Kapal terakhir, Marinette, ditahan sekitar 42 mil laut dari pantai Gaza pada 3 Oktober. Penangkapan ini disertai laporan intimidasi fisik dan perampasan alat komunikasi. Pemerintah Israel menyatakan tindakannya sah secara hukum internasional untuk menegakkan blokade; sementara aktivis dan organisasi HAM menyebutnya pelanggaran terhadap hukum laut dan prinsip kemanusiaan.
5–7 Oktober 2025, Penahanan, deportasi, dan tuduhan perlakuan buruk
Dalam beberapa hari berikutnya, para aktivis mulai dideportasi ke negara asal atau negara transit seperti Yordania dan Turki. Namun, banyak di antara mereka melaporkan perlakuan tidak manusiawi selama masa penahanan, mulai dari minimnya air dan makanan, akses medis yang terbatas, hingga tekanan psikologis. Laporan-laporan ini memicu kecaman keras dari Amnesty International, Human Rights Watch, dan sejumlah pemerintah.
6–7 Oktober 2025, Dampak global dan perhatian media internasional
Kasus ini menjadi sorotan besar di media dunia setelah tokoh aktivis lingkungan Greta Thunberg dikonfirmasi ikut dalam armada dan turut ditahan sebelum akhirnya dideportasi. Banyak negara menuntut klarifikasi diplomatik kepada Israel, sementara aksi solidaritas bermunculan di berbagai kota besar dunia. Bagi para pendukungnya, meskipun misi GSF tidak berhasil menembus blokade, mereka berhasil “menembus kesadaran global” dan memperlihatkan kerasnya realitas di Gaza.
Gerakan Global Sumud Flotilla pada 2025 adalah salah satu upaya solidaritas sipil terbesar dalam sejarah terbaru untuk Gaza, dengan ambisi melampaui misi simbolik menjadi tindakan nyata menantang politik blokade. Meskipun akhirnya armada tersebut disergap dan dipaksa ditahan oleh angkatan laut Israel, insiden ini tetap memiliki beberapa makna penting:
Efek simbolik dan naratif, Bagi banyak orang, aksi flotilla ini memperlihatkan bahwa solidaritas global masih hidup dan bahwa warga sipil bisa mengambil inisiatif ketika lembaga-lembaga internasional dianggap lamban atau tidak tegas.
Tekanan pada kebijakan & legitimasi, Intersepsi dan tuduhan pelanggaran HAM memaksa negara-negara lain, organisasi PBB, dan media untuk mengangkat kembali isu Gaza, memperdebatkan legalitas blokade laut, serta meminta pertanggungjawaban terhadap kebijakan luar negeri dan hak asasi.
Risiko & batas aksi sipil di medan konflik, Meski niatnya damai, flotilla menghadapi risiko nyata: intersepsi, penahanan, kekerasan, dan tantangan teknis. Aksi semacam ini punya batas, terutama bila berhadapan dengan kekuatan militer serta kepentingan keamanan nasional.
Organisasi dan kesiapan penting, Agar aksi seperti ini bisa berdampak, bukan hanya kesiapan kapal dan peserta, tetapi juga dukungan logistik, koordinasi diplomatik, advokasi media, dan strategi kontingensi menghadapi serangan atau penahanan diperlukan.
Mari bergabung dalam tiap gerakan kemanusiaan. Manusia global sekarang sedang bergerak menuju Palestina, bergerak dengan segala upaya yang kita miliki dan sesuai kemampuan!!!
Tunas Ohara
Tumbuh Membaca, Menyemai Peradaban
Kontak
© 2025. Hak Cipta dilindungi Tuhan yang Maha Esa

