Penangkapan Delpedro dan Aktiviis serta Hubungannya dengan RUU KUHAP

Pemerintah perlu segera memperjelas draft RUU KUHAP yang dibahas, karena ketidakjelasan ini berpotensi membuat masyarakat abai terhadap aturan hukum. Jika dibiarkan, kondisi tersebut bisa memicu ketidakpatuhan hukum dan berujung pada kekacauan di berbagai aspek kehidupan.

SIKAP

Arrizal Fathurohman N.

10/6/20253 min read

a 3d image of a judge's hammer on a black background
a 3d image of a judge's hammer on a black background

Pasca aksi besar akhir bulan Agustus 2025, Kepolisian menangkap beberapa orang yang dianggap sebagai dalang pemicu kekerasan. Salah satu yang ditangkap yakni Direktur Lokataru Foundation yang bernama Delpedro Marhaen. Berdasarkan uraian kronologis proses penangkapan Delpedro hingga penahanan nya di Polda Metro Jaya ditemukan ketidaksesuaian dengan peraturan perundang-undangan salah satunya KUHAP 1981. Hal ini sangat miris mengingat pada waktu bersamaan, pemerintah sedang membahas revisi KUHAP dengan alasan dekolonisasi hukum pidana. Artinya, KUHAP 1981 yang jelas-jelas masih berlaku ternyata dalam praktik tidak dijadikan standar operasional bagi penegak hukum khususnya penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Berkaitan dengan kasus Delpedro, dugaan bentuk pelanggarannya adalah sebagai berikut:

Pertama , Penangkapan dan Penggeledahan yang Tidak dilengkapi Surat

Dalam rilis kronologis yang disampaikan oleh tim advokasi Delpedro, didapati fakta bahwa tim penyidik Polda Metro Jaya ketika melakukan penangkapan tidak menunjukkan Surat Perintah Penangkapan. Hal ini menunjukkan tidak dilaksanakannya ketentuan Pasal 18 Ayat 1 KUHAP oleh penyidik dalam proses penangkapan tersebut.

Pentingnya Surat Penangkapan untuk ditunjukkan kepada tersangka yaitu agar dapat diketahui jenis tindak pidana yang dituduhkan kepada tersangka. Mengingat, alasan penangkapan secara tersirat dijelaskan dalam ketentuan Pasal 17 KUHAP yaitu karena seseorang tersebut diduga kuat melakukan tindak pidana dan dugaan tersebut didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.

Berkaitan dengan kasus Delpedro, pihak kepolisian tidak menetapkan Delpedro Sebagai tersangka terlebih dahulu melainkan langsung melakukan upaya hukum berupa penangkapan. Sehingga, patut diduga bahwa Polda Metro Jaya telah melakukan kesewenang-wenangan dalam proses penangkapan tersebut.

Kedua, Tidak Diberikannya Akses untuk Bantuan Hukum

Berdasarkan fakta, Delpedro pada saat ditangkap tidak dibolehkan untuk menghubungi advokat Sebagai pendamping. Padahal, hak seorang tersangka untuk dapat didampingi oleh penasehat hukum tercantum dalam ketentuan Pasal 69 KUHAP.

Harapan terhadap proses penegakkan hukum pidana melalui pembaharuan KUHAP pun muncul. Namun berdasarkan diskusi dan penelaahan draft RUU KUHAP tahun 2025, sepertinya masih jauh panggang dari api untuk sejalan dengan hak asasi manusia. Hal ini diantaranya pertama, tidak diakomodirnya hakim komisi dalam RUU KUHAP menegaskan bahwa pemerintah masih abai terhadap suatu kesalahan prosedur. Sehubungan penangkapan Delpedro, seandainya terdapat hakim komisi besar kemungkinan proses penangkapan didahului dengan pemanggilan Delpedro sebagai saksi untuk dimintai keterangan atas tuduhan yang disangkakan. Selain itu, hakim komisi dapat menilai sejauh mana penyidik telah mengumpulkan bukti permulaan yang cukup. Proses inilah yang dapat menghasilkan the rights to a fair trial. Padahal, konsep hakim komisaris sempat disinggung dalam RUU KUHAP tahun 2012 (https://icjr.or.id/sembilan-masalah-dalam-ruu-kuhap/). Kedua, proses pengujian terhadap upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik masih belum diakomodir dalam RUU KUHAP ini. Alih – alih ada pembaharuan, malah justru mereduksi beberapa objek pra – peradilan seperti dalam ketentuanPasal 149 Ayat (1) Huruf a RKUHAP 2025, “Upaya Paksa yang telah mendapatkan izin ketua pengadilan negeri tidak termasuk dalam objek praperadilan”, maupun dalam Pasal 152 ayat (2) RUU KUHAP 20 Maret 2025, “praperadilan atas penghentian perkara yang dihasilkan dalam gelar perkara tidak dapat dimohonkan ke praperadilan”. Seharusnya proses peradilan merupakan instrument hukum untuk menguji tindakan yang dilakukan oleh penyidik dan pra – peradilan juga bentuk penerapan asas Habeas Corpus (orang yang dikuasai aparat dihadapkan ke Pengadilan). Ketiga, sebagaimana kasus penangkapan Delpedro dan aktivis lainnya yang pada saat ditangkap dilarang untuk menghubungi advokat/bantuan hukum oleh penyidik, lagi – lagi dalam RUU KUHAP masih terdapat celah sebagaimana dalam Pasal 146 ayat (4) dan (5) RUU KUHAP, tersangka/terdakwa tidak didampingi oleh seorang advokat apabila menyatakan menolak didampingi, dibuktikan dengan berita acara yang dibuat pejabat yang berwenang sesuai tahapan pemeriksaan. Hal ini dapat memunculkan celah penyidik untuk memaksa dan/atau mengintimidasi tersangka untuk menandatangani berita acara untuk menolak didampingi advokat/kuasa hukum, dengan iming – iming untuk mempercepat proses maupun biaya pemanggilan advolat/kuasa hukum mahal.

Masih banyak permasalahan lain dalam RUU KUPA yang perlu perhatian khusus masyarakat. Sudah waktunya, masyarakat berkoalisi untuk menyuarakan agar hak asasi dapat diterapkan. Jangan sampai, ada Delpedro lainnya dikemudian hari. Seorang pegiat hak asasi manusia yang cukup terkenal saja bisa diproses hukum dengan cara sewenang – wenang, apalagi masyarakat biasa yang tidak dikenal publik dapat dengan mudah menjadi objek kesewenang – wenangan penyidik dalam penerapan hukum pidana.

Dalam ketentuan Pasal 96 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 sebagaimana telah diperbaharui dengan UU No.15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan, “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”. Sementara dalam ayat (4)-nya menyebutkan, Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat”. Pemerintah perlu segera memperjelas draft RUU KUHAP yang dibahas, karena ketidakjelasan ini berpotensi membuat masyarakat abai terhadap aturan hukum. Jika dibiarkan, kondisi tersebut bisa memicu ketidakpatuhan hukum dan berujung pada kekacauan di berbagai aspek kehidupan.