Reformasi Feodalistik
Feodalisme yang saya maksud tentu bukan kerajaan dengan raja dan bangsawan seperti di buku sejarah dan keraton-keratona yang ada di jawa sana. Wujudnya sekarang sudah berevolusi. Dengan kata lain, demokrasi prosedural ada, tapi substansinya masih tunduk pada pola lama: kesetiaan pada figur, bukan pada ideologi atau gagasan.
SIKAP
Beriandi Pancar
9/2/20256 min read
Lebih dari dua puluh tahun setelah Reformasi 1998, kita sering mendengar pujian bahwa Indonesia adalah salah satu negara demokrasi paling stabil di Asia Tenggara. Pemilu berjalan rutin, partai-partai hidup, dan kekuasaan berganti tanpa pertumpahan darah. Dari luar, semua terlihat baik-baik saja.
Tapi kalau kita buka sedikit lapisan luarnya, ada yang mengganggu. Demokrasi kita memang berjalan, tetapi di dalamnya masih hidup subur sesuatu yang seharusnya sudah lama mati yaitu hantu yang bernama feodalisme.
Feodalisme yang saya maksud tentu bukan kerajaan dengan raja dan bangsawan seperti di buku sejarah dan keraton-keratona yang ada di jawa sana. Wujudnya sekarang sudah berevolusi. Dengan kata lain, demokrasi prosedural ada, tapi substansinya masih tunduk pada pola lama: kesetiaan pada figur, bukan pada ideologi atau gagasan.
Dari Ideologi ke Patron
Kalau kita mundur ke masa awal kemerdekaan, partai politik lahir dengan semangat ideologi. Ada PNI dengan nasionalismenya, Masyumi dengan Islam, Partai Sosialis Indonesia dengan sosialismenya, hingga PKI dengan komunismenya. Orang berpolitik waktu itu karena keyakinan, karena perjuangan, karena visi tentang arah bangsa sesuai dengan garis politik yang jelas, tertuang dalam AD/ART partai.
Sekarang situasinya berbeda jauh. Ulla Fionna dan Dirk Tomsa (2020) dalam penelitiannya mencatat bahwa partai-partai di Indonesia sudah lama meninggalkan ideologi. Nilai yang merekatkan partai bukan lagi gagasan, melainkan patronase.
Singkatnya begini: siapa yang punya modal, siapa yang bisa memberi akses, siapa yang bisa menjamin karier politik, dialah yang jadi pusat loyalitas. Figur ketua umum partai jauh lebih penting daripada AD/ART partai. Penokohan dan citra lebih menentukan daripada kebebasan berpendapat.
Alhasil, partai politik kini lebih mirip kerajaan kecil: ada raja (patron), ada pengikut (kader), ada sistem imbal-balik yang mengatur segalanya. Sementara gagasan? Hampir tak punya ruang sama sekali.
Karena itu jangan heran jika banyak pakar menyebut bahwa anggota DPR di Indonesia lebih takut kepada ketua partai yang mengusung mereka ketimbang kepada rakyat yang memilih mereka. Sebab, kursi mereka tidak sepenuhnya ditentukan oleh suara pemilih, melainkan oleh restu partai. Dalam sistem yang feodal seperti ini, kesetiaan pada patron lebih penting daripada pertanggungjawaban kepada publik.
Reformasi yang Setengah Jalan
Reformasi 1998 memang berhasil menjatuhkan rezim otoriter, tetapi tidak benar-benar mengubah struktur kekuasaan. Soeharto memang tumbang, namun jejaring politik dan ekonomi yang menopang rezimnya tetap bertahan. Oligarki lama tidak hilang, mereka hanya berganti wajah dan kendaraan politik.
Jeffrey Winters (2011) menyebut kondisi ini sebagai wealth defense: kekayaan tetap terkonsentrasi di tangan segelintir elit, sementara kekuasaan politik dipakai untuk mempertahankan kekayaan tersebut. Richard Robison dan Vedi Hadiz (2004) bahkan menunjukkan bahwa liberalisasi pasca-Reformasi memperkuat oligarki lama dalam bentuk baru. Demokrasi prosedural memang hadir, tetapi akar ketimpangan ekonomi-politik warisan Orde Baru tidak pernah benar-benar diganggu.
Karena tidak ada redistribusi kekayaan, rakyat tetap berada di bawah, sementara elite lama tetap di atas. Banyak figur pasca-Reformasi sejatinya adalah residu Orde Baru, baik dari kalangan konglomerat maupun militer. Mereka telah mengakumulasi modal dan jaringan sejak era Soeharto, lalu menggunakannya untuk mempertahankan pengaruh.
Di kalangan sipil-bisnis, keluarga Cendana masih menjadi pemain penting. Anak-anak Soeharto seperti Tommy Soeharto tetap berpolitik lewat Partai Berkarya. Tokoh bisnis-politik seperti Aburizal Bakrie—konglomerat era Orde Baru—sempat menjadi Ketua Umum Golkar. Banyak konglomerat lama lainnya tetap eksis di sektor energi, perkebunan, hingga media, dan sebagian langsung menyokong partai.
Sementara itu, di kalangan militer, para jenderal Orde Baru juga tidak hilang, justru menjadi pilar penting politik pasca-Reformasi. Banyak yang masuk partai atau mendirikan partai baru.
Wiranto, mantan Panglima ABRI, sempat mendirikan Partai Hanura dan berkali-kali menduduki jabatan penting dalam pemerintahan sipil.
Prabowo Subianto, mantan Danjen Kopassus sekaligus menantu Soeharto, mendirikan Partai Gerindra dan kini menjadi salah satu figur terkuat dalam politik Indonesia, menjabat Presiden Republik Indonesia.
Luhut Binsar Pandjaitan, mantan jenderal Kopassus dan pengusaha besar, menjadi tokoh kunci di lingkaran kekuasaan pasca-Reformasi dengan kekuatan politik sekaligus ekonomi.
Bahkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang juga jenderal Orde Baru, berhasil menjadi presiden dua periode lewat Partai Demokrat.
Munculnya kembali para jenderal ini memperlihatkan bahwa transisi Reformasi tidak mengakhiri dominasi militer, tetapi hanya memindahkan mereka dari “baju loreng” ke “baju sipil” melalui partai politik dan jabatan pemerintahan.
Akumulasi modal dari konglomerat lama dan jaringan militer Orde Baru inilah yang membuat mereka tetap punya daya tawar tinggi dalam politik pasca-Reformasi. Partai-partai baru sering kali bergantung pada mereka, baik dari segi finansial maupun dukungan politik. Akibatnya, partai politik berubah menjadi “kerajaan modern” milik oligark dan jenderal lama, tempat patron mengendalikan arah, sementara kader menjadi klien yang tunduk.
Demokrasi elektoral yang mestinya membuka ruang meritokrasi justru menghasilkan sistem feodal baru: uang, keluarga, dan jaringan militer lama lebih menentukan ketimbang gagasan atau kapasitas kepemimpinan.
Dinasti Politik dan Kultus Figur Feodalistik
Kita juga tak bisa menutup mata pada fenomena dinasti politik. PDIP dengan keluarga Sukarno, Partai Demokrat dengan keluarga Yudhoyono, dinasti daerah seperti Ratu Atut di Banten, hingga keluarga Jokowi di Solo–Medan. Semua ini mengingatkan kita pada feodalisme klasik: kekuasaan diwariskan turun-temurun, seolah jabatan adalah hak milik keluarga.
Dalam kondisi seperti ini, demokrasi internal partai menjadi terbatas, bahkan nyaris tidak ada. Kader partai lebih diuntungkan jika dekat dengan keluarga politik, ketimbang bersaing melalui meritokrasi atau kompetisi yang terbuka.
Fenomena tersebut juga melahirkan kultus populisme politik berbasis figur. Dalam banyak partai, figur patron politik diperlakukan bak simbol sakral yang tak boleh dikritik. Hal ini sesungguhnya merupakan ciri feodalisme politik yang mengakar, hanya saja kini difabrikasi dalam bentuk modern: patron karismatik dan dinasti politik.
Dengan teori patron-klien, kita bisa memahami pola ini sebagai simbiosis antara patron dengan kliennya. Patron (tokoh besar atau keluarga politik) menawarkan perlindungan, akses, dan legitimasi; sementara klien (kader, pendukung, pemilih) memberikan loyalitas tanpa syarat, sering kali bahkan dalam bentuk kultus personal.
Contohnya jelas terlihat di PDIP. Keluarga Megawati bukan hanya pemegang kendali politik formal, tetapi juga simbol karisma Sukarno yang diwariskan. Loyalitas kader PDIP lebih banyak diarahkan pada “trah Sukarno” ketimbang visi ideologis partai.
Fenomena serupa juga terjadi pada keluarga Jokowi. Meski berasal dari kelas menengah bawah dan bukan bagian dari Orde Baru, dinasti politik Jokowi berkembang cepat: Gibran menjadi Cawapres, Kaesang memimpin PSI. Keputusan-keputusan itu bukan semata hasil kompetisi terbuka, melainkan karena status mereka sebagai “anak presiden”. Simbol populisme Jokowi merakyat, sederhana, dekat dengan rakyat difabrikasi menjadi modal dinasti politik yang sekarang oleh PSI pimpinan anak Jokowi dikenal istilah Jokowisme yang tidak lebih bentuk dari ekstrimisme Patron politik yang Feodalistik.
Dengan demikian, kultus figur yang muncul dalam dinasti politik Indonesia adalah wajah baru dari feodalisme modern. Demokrasi kita mungkin prosedural, tetapi relasi sosial-politiknya tetap feodal: patron di atas, klien di bawah, dengan ikatan loyalitas yang lebih kuat daripada prinsip ideologis.
Feodalisme dan Korupsi
Budaya feodal dalam politik Indonesia tidak hanya mempengaruhi cara partai dikelola, tetapi juga menimbulkan konsekuensi serius: korupsi yang sistematis.
Dalam logika feodal, jabatan bukan dipandang sebagai amanah untuk melayani rakyat, melainkan hak istimewa yang bisa dibeli dan diwariskan. Patron memberi akses kekuasaan dan peluang ekonomi kepada klien, sementara klien membalas dengan loyalitas dan setoran. Hubungan semacam ini dianggap normal, bahkan menjadi aturan tak tertulis dalam politik sehari-hari. Maka tidak mengherankan bila di Indonesia, korupsi sering kali bukan dipandang sebagai penyimpangan, melainkan bagian dari mekanisme patronase itu sendiri.
Salah satu bentuk paling nyata dari praktek patron-klien dan Feodalistik dalam politik modern adalah mahar politik. Para kader partai yang ingin maju sebagai calon legislatif atau kepala daerah sering kali harus menyediakan sejumlah uang agar bisa mendapat tiket pencalonan. Praktik ini bukan lagi rahasia umum; sudah berulang kali muncul ke permukaan dalam kasus-kasus nyata.
Di Palembang, seorang kader salah satu partai mengaku diminta Rp 5 juta oleh ketua partainya sebagai syarat pencalonan. Ia bahkan sempat mencicil Rp 500 ribu, sebelum akhirnya batal maju.
Di Deli Serdang, bacaleg salah satu partai protes karena diminta menyetor kontribusi 30% dari dana untuk biaya saksi, yang pada prakteknya tidak jauh berbeda dengan mahar.
Bahkan di Indramayu, muncul kabar bahwa seorang calon legislatif dari Salah satu Partai Besar diminta mahar sebesar Rp 3,5 miliar, memicu puluhan kader mundur massal.
Kasus-kasus tersebut memperlihatkan bagaimana mahalnya biaya politik di Indonesia. Biaya yang tinggi ini akhirnya melahirkan mentalitas politik modal besar: hanya mereka yang memiliki sumber daya finansial yang bisa ikut bersaing. Dan ketika modal politik dikeluarkan dalam jumlah besar, logika bisnis pun berlaku-modal harus kembali, bahkan dengan keuntungan.
Di sinilah lingkaran setan feodalisme dan korupsi terbentuk. Politisi yang sudah mengeluarkan uang banyak untuk mahar, ongkos kampanye, hingga biaya “jaga patron”, cenderung mencari jalan pintas untuk mengembalikan modal ketika berhasil menduduki jabatan. Jalan pintas itu, sayangnya, seringkali berupa korupsi, mulai dari praktik mark-up anggaran, proyek fiktif, hingga jual-beli jabatan di birokrasi.
Dengan demikian, mahar politik bukan hanya gejala kecil, melainkan akar dari budaya korupsi politik di Indonesia. Ia memperlihatkan bagaimana feodalisme yang bercampur dengan demokrasi elektoral melahirkan politik yang mahal, eksklusif, dan rawan penyalahgunaan kekuasaan.
Jika kita biarkan sistem seperti ini terus berjalan, maka korupsi tidak akan pernah berhenti. Ia akan selalu dipandang sebagai hal “wajar”, karena sejak awal politisi sudah dipaksa masuk ke dalam permainan patron-klien yang berbasis uang.
Penutup: Saatnya Melawan Feodalisme Politik
Feodalisme politik di Indonesia jelas bukan sekadar persoalan masa lalu, tetapi penyakit yang terus diwariskan dalam tubuh demokrasi kita. Dari residu Orde Baru hingga dinasti modern, dari patron yang mengendalikan partai hingga klien yang tunduk tanpa daya, dari mahar politik hingga korupsi yang dianggap lumrah semua ini adalah lingkaran setan yang membuat demokrasi kita mandek pada level prosedural.
Reformasi 1998 telah membuka pintu kebebasan, tetapi gagal menyingkirkan akar feodalisme yang menyandera politik. Demokrasi yang kita jalani hari ini lebih sering menjadi topeng: ada pemilu, ada partai, ada kursi, tetapi ruhnya tetap feodal berpusat pada patron, bukan pada rakyat.
Pertanyaannya sederhana tapi penting: mau sampai kapan kita membiarkan demokrasi dikendalikan oleh budaya feodal ini? Mau sampai kapan kita menerima mahar politik, dinasti keluarga, dan politik uang sebagai sesuatu yang “wajar”?
Jika benar kita ingin demokrasi yang sehat, maka kita tidak bisa lagi hanya jadi penonton. Partai harus dipaksa untuk transparan, biaya politik harus ditekan, dinasti politik harus dibatasi, dan rakyat harus berani menuntut pertanggungjawaban. Demokrasi sejati hanya mungkin lahir kalau kita semua bukan hanya elite, tapi juga rakyat biasa berani berkata cukup pada feodalisme politik.
Karena itu, mari kita mulai bertanya, mari kita mulai kritis, mari kita mulai berbenah bersama. Sebab kalau tidak, demokrasi kita hanya akan jadi kerajaan modern yang dikendalikan oleh sedikit orang, sementara rakyat banyak tetap hanya jadi penonton dalam panggung politik yang semu.
Tunas Ohara
Tumbuh Membaca, Menyemai Peradaban
Kontak
© 2025. Hak Cipta dilindungi Tuhan yang Maha Esa

