Restorative Justice di Tahap Penyelidikan: Antara Harapan dan Celah Transaksi Hukum

Secara sederhana, restorative justice adalah upaya menyelesaikan perkara pidana dengan jalan damai mempertemukan pelaku, korban, dan masyarakat untuk mencari solusi yang memulihkan keadaan, bukan sekadar menghukum pelaku. Pelaku bisa meminta maaf, mengganti kerugian, dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Korban pun bisa mendapatkan kepastian, pemulihan, dan rasa keadilan tanpa harus melalui proses hukum panjang yang melelahkan.

SIKAP

Beriandi Pancar

10/6/20255 min read

white and black happy birthday signage
white and black happy birthday signage

Diskusi soal reformasi hukum pidana kembali menghangat seiring pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) 2025. Salah satu isu yang paling banyak menyita perhatian adalah masuknya mekanisme restorative justice (keadilan restoratif) dalam rancangan tersebut.

Definisi restorative justice, sebagaimana direkomendasikan dalam Konferensi Nasional Keadilan Restoratif “Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia dengan Keadilan Restoratif” (1–2 November 2022), yang diselenggarakan oleh Konsorsium Masyarakat Sipil untuk Keadilan Restoratif (ICJR, IJRS, LeIP) bersama Kemenko Polhukam, Kementerian Hukum dan HAM, BAPPENAS, dengan dukungan Pemerintah Australia melalui Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ2) dan The Asia Foundation (TAF), menjelaskan bahwa:

Restorative Justice adalah pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, pelaku, atau pihak yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, dan bukan hanya pembalasan.

Kemudian dalam Draft RUU KUHAP tanggal 20 Maret 2025, definisi Keadilan Restoratif atau Restorative Justice terdapat di Pasal 1 angka 18.

Bunyi pasalnya:

“Mekanisme Keadilan Restoratif adalah pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, keluarga korban, tersangka, keluarga tersangka, terdakwa, keluarga terdakwa, dan/atau pihak lain yang terkait, dengan tujuan mengupayakan pemulihan keadaan semula

Secara sederhana, restorative justice adalah upaya menyelesaikan perkara pidana dengan jalan damai mempertemukan pelaku, korban, dan masyarakat untuk mencari solusi yang memulihkan keadaan, bukan sekadar menghukum pelaku. Pelaku bisa meminta maaf, mengganti kerugian, dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Korban pun bisa mendapatkan kepastian, pemulihan, dan rasa keadilan tanpa harus melalui proses hukum panjang yang melelahkan.

Sekilas, konsep ini terdengar ideal. Dalam praktiknya, banyak negara mulai menerapkan mekanisme ini untuk kasus-kasus tertentu, terutama kasus ringan, demi mengurangi beban penjara sekaligus memberi ruang pemulihan bagi korban.

Namun yang menimbulkan polemik di Indonesia adalah: dalam draf RUU KUHAP, mekanisme restorative justice bisa dilakukan bahkan sejak tahap penyelidikan hal ini dapat kita lihat jika merujuk ketentuan yang ada dalam Pasal 74 RUU KUHAP 20 Maret 2025 yang berbunyi:

Penyelesaian perkara diluar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tingkat:
a. Penyelidikan;
b. Penyidikan; dan
c. Penuntutan.

Ini jelas menjadi polemik jika kita mengetahui dan memahami istilah “penyelidikan” dan “penyidikan” yang sering tertukar. Padahal perbedaannya penting sekali.

  • Penyelidikan adalah tahap paling awal ketika polisi baru mencari tahu apakah sebuah peristiwa bisa disebut tindak pidana atau tidak. Jadi, statusnya masih abu-abu: ada kasus, tapi belum tentu ada kejahatan.

  • Penyidikan adalah tahap berikutnya, ketika polisi sudah yakin ada tindak pidana, lalu mereka mencari siapa pelakunya dan mengumpulkan bukti.

Nah, perdebatan muncul karena RUU KUHAP membuka pintu restorative justice di tahap penyelidikan, saat belum jelas ada kejahatan atau tidak. Di atas kertas, ide ini mungkin terdengar efisien. Tapi kalau kita tarik ke realitas sehari-hari, banyak risiko yang justru berbahaya bagi sistem hukum kita

Dalam banyak pengalaman masyarakat, tahap penyelidikan sering kali jadi momen paling rawan “transaksi”. Contoh, ada tabrakan ringan di jalan. Pihak yang menabrak adalah orang berduit. Alih-alih diproses sesuai hukum, perdamaian bisa diarahkan dengan iming-iming uang.Bagi korban yang lemah, pilihan damai ini sering kali bukan karena keikhlasan, tapi karena tekanan.

Lebih jauh lagi, praktek bisa menjadi lebih gelap: si pelaku yang berduit bukan hanya menawarkan ganti rugi kepada korban, tapi juga “membayar” aparat kepolisian. Polisi yang seharusnya berdiri netral, malah ikut menekan korban agar menerima kompensasi yang jauh dari pantas.

Skenarionya sederhana: korban diancam bahwa jika menolak damai, kasus akan diproses panjang, melelahkan, dan tidak menjamin keadilan. Akhirnya korban terpaksa menerima “damai” bukan karena puas, tapi karena takut dan tidak punya pilihan.

Di sini, restorative justice yang seharusnya jadi alat pemulihan berubah menjadi alat represi baru: uang dan kekuasaan menjadi penentu, sementara keadilan hilang sama sekali.

kemudian Misalnya ada kasus penganiayaan ringan dalam perkelahian. apabila dalam proses Penyelidikan sudah kita terapkan RJ Korban bisa ditekan agar berdamai cepat, tanpa benar-benar mendapatkan keadilan. Lebih parah lagi kalau pelaku punya posisi sosial atau ekonomi lebih kuat misalkan anak pejabat yang punya power dan akses kepada polisi mungkin dengan relasi kuasanya yang lebih kuat bisa menekan polisi yang menangani untuk membujuk korban agar mau berdamai dengan kompensasi seadanya atau bahkan tidak ada sama sekali karena adanya tekanan.

Pada tahap penyelidikan, hakim belum ikut mengawasi prosesnya. Semua keputusan berada di tangan aparat penyidik. Tanpa pagar pengaman,seperti beberapa ilustrasi imajiner yang saya sebutkan peluang penyalahgunaan wewenang terbuka lebar.

Agar lebih mudah membayangkan, mari kita buat beberapa contoh skenario contoh yang menunjukan bahayanya RJ apabila ada dalam Proses Penyidikan:

  • Kasus anak mencuri makanan minimarket atau toko. Polisi baru mendapat laporan, tapi belum tahu apakah anak itu mencuri karena kelaparan atau hanya salah paham. Kalau RJ dilakukan di tahap penyelidikan, kasus bisa selesai damai. Tapi bagaimana jika sebenarnya ada jaringan orang dewasa yang menyuruh anak itu mencuri? Kasusnya jadi tidak terungkap.

  • Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Laporan masuk, tapi masih tahap penyelidikan. Pelaku bisa menekan korban agar berdamai, apalagi kalau korban secara ekonomi bergantung pada pelaku. RJ di tahap ini bisa jadi bentuk pelemahan perlindungan terhadap korban.

Beberapa lembaga, seperti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), mengingatkan bahwa restorative justice jangan dijadikan “jalan pintas” oleh aparat. Tujuan awalnya memang mulia: mendamaikan dan memulihkan. Tapi tanpa pengaturan ketat, ia bisa jadi celah baru untuk jual-beli perkara.

Tentu kita tidak bisa menutup mata. Restorative justice memang menawarkan banyak kebaikan. Proses hukum pidana yang kaku sering kali membuat korban justru tidak mendapat pemulihan apa-apa, hanya hukuman untuk pelaku. RJ bisa menjadi jalan tengah agar hukum lebih manusiawi.

Misalnya dalam kasus anak berkonflik dengan hukum, RJ terbukti bisa mencegah anak masuk penjara dan memberi kesempatan kedua. Dalam kasus ringan seperti cekcok antar tetangga, RJ lebih masuk akal daripada proses panjang di pengadilan.

Tapi kebaikan ini akan hilang kalau mekanismenya justru membuka peluang penyalahgunaan.

Supaya restorative justice benar-benar jadi alat pemulihan, bukan “jalan pintas damai bayar”, ada beberapa hal yang bisa dipertimbangkan:

  1. Batasi RJ hanya di tahap penyidikan.
    Penyelidikan sebaiknya tetap fokus pada tugas dasarnya: memastikan ada atau tidaknya tindak pidana. Kalau RJ sudah bisa dilakukan di tahap ini, dikhawatirkan justru ada penyelesaian yang prematur sebelum fakta-fakta dasar terungkap. Dengan membatasi RJ hanya di penyidikan, setidaknya sudah ada kepastian hukum bahwa memang benar terjadi tindak pidana, lalu baru dibuka ruang untuk proses pemulihan.

  2. Libatkan mediator independen, jangan hanya polisi.
    Kalau penyelesaian damai hanya ditangani aparat penegak hukum, ada risiko korban merasa tertekan atau “ikut saja” karena posisi tawarnya lemah. Dengan menghadirkan mediator independen misalnya lembaga sosial, pekerja sosial, atau tokoh masyarakat proses dialog bisa lebih berimbang. Korban merasa lebih terlindungi, dan hasil kesepakatan benar-benar lahir dari musyawarah, bukan tekanan.

  3. Harus ada pengawasan jaksa atau hakim.
    RJ bukan sekadar perkara administrasi, tapi menyangkut hak korban dan masa depan pelaku. Karena itu, jaksa dan hakim penting dilibatkan sebagai pengawas. Kehadiran mereka bisa memastikan kesepakatan RJ tidak melanggar hukum, tidak merugikan korban, dan benar-benar dijalankan sesuai prinsip keadilan. Dengan begitu, RJ tetap berada dalam koridor penegakan hukum, bukan jadi ruang abu-abu yang rawan disalahgunakan.

Restorative justice adalah gagasan besar yang bisa membuat hukum kita lebih melindungi HAM. Tapi ketika ia dimasukkan ke tahap penyelidikan, kita harus berhati-hati. Alih-alih memberi Perlindungan, ia justru bisa membuka pintu baru untuk transaksi perkara, intimidasi, dan praktik jual beli hukum yang sudah lama menjadi penyakit dalam penegakan hukum kita.

RUU KUHAP 2025 bisa jadi momentum besar untuk memperbaiki sistem peradilan pidana Indonesia. Tapi hanya kalau kita berani merumuskan restorative justice dengan pagar-pagar yang jelas: kapan boleh, siapa yang mengawasi, dan bagaimana melindungi korban. Tanpa itu, yang terjadi hanya pengulangan masalah lama dalam bungkus baru.

oleh karena itu, dalam momentum pembahasan Rancangan RUU KUHAP tahun ini penting bagi kita masyarakat sipil yang akan bersinggungan langsung dengan hukum ke depannya untuk dapat terus mengawasi dan mengkritisi proses yang sedang berlangsung agar kepentingan hukum kita dapat terlindungi dan terjaga di masa depan.